Kamis, 11 Desember 2014

TRS: BULETIN DOA - Doa Kemanusiaan -- Edisi Desember 2014, Vol. 06 No. 106

Dari: doa@sabda.org
Kepada: i-kan-buah-doa@hub.xc.org
Email Keluar: Kam, 11 Des 2014 01:47 Waktu Baku Pasifik
Judul: BULETIN DOA - Doa Kemanusiaan -- Edisi Desember 2014, Vol. 06 No. 106



BULETIN DOA -- Doa Kemanusiaan
Edisi Desember 2014, Vol. 06 No. 106

Salam kasih,

Sudahkah Anda menyiapkan hadiah bagi Yesus pada Natal kali ini? Bagaimana dengan ide untuk menjadi pendoa syafaat bagi gereja, sesama, dan orang-orang yang membutuhkan Yesus dalam hidup mereka? Hanya dibutuhkan kemauan dan ketulusan dalam melakukannya serta belas kasih yang mendalam untuk memahami apa yang sesungguhnya perlu menjadi pokok doa sehingga dapat menjadi berkat bagi mereka yang membutuhkan.

Edisi e-Doa pada penghujung tahun ini menyajikan artikel tentang Doa bagi Kemanusiaan. Semoga Natal kali ini akan menjadi saat yang tepat bagi Anda untuk menjadi pendoa syafaat bagi gereja dan sesama. Akhirnya, seluruh staf redaksi e-Doa mengucapkan Selamat Natal 2014 kepada pembaca e-Doa semua! Damai sejahtera dan karya kepedulian Allah kiranya mewarnai kehidupan Anda. Maranatha!

Pemimpin Redaksi e-Doa,
N. Risanti
< okti(at)in-christ.net >



RENUNGAN: ADVEN: NEK KERIPUT ITU KRISTUS?
Diringkas oleh: N. Risanti

"Aku heran, akhir-akhir ini aku gampang ngantuk. Baru saja duduk dan mulai membaca, aku tertidur. Memang cuma beberapa menit, tetapi betul-betul tertidur, bahkan bermimpi." Begitu kata Kek Martin kepada dirinya sendiri sambil memperbaiki kacamatanya yang sebentar-sebentar merosot di hidungnya.

Kakek ini bernama Martin Avdeich, tetapi semua orang di kota kecil ini menyebut dia Kek Martin. Demikian cerita Leo Tolstoy (1828 -- 1910) yang dalam bab ini dipotong dan diubah di sana-sini.

Martin adalah seorang tukang membetulkan sepatu sejak masa mudanya. Istrinya sudah lama meninggal, sedangkan anak-cucunya tinggal jauh di berbagai pelosok. Martin tinggal seorang diri di sebuah ruangan kecil di lantai bawah tanah yang hanya memiliki satu jendela. Jendela itu adalah dunianya. Dari jendela itu, ia sulit melihat wajah orang yang lewat. Yang bisa dilihatnya hanya kaki mereka. Akan tetapi, justru itulah yang terpenting. Hampir semua orang itu mengenakan sepatu yang pernah diperbaiki Martin. Martin mengenali sepatu mereka itu satu per satu. Dia bangga melihat hasil kerjanya.

Martin tidak pernah kekurangan pekerjaan. Selalu ada saja orang yang datang untuk meminta sepatunya diperbaiki. Apalagi, sekarang menjelang Natal. Tidak ada orang yang ingin memakai sepatu yang rusak pada hari Natal.

Malam itu, seperti biasa, Martin membaca Alkitab. Saat itu, yang dibacanya adalah cerita tentang Yesus yang diundang makan oleh seorang pemuka agama. Rupanya, tuan rumah itu menyambut Yesus hanya dengan setengah hati. Tiba-tiba, masuklah seorang perempuan yang langsung menangis sambil menciumi kaki Yesus, lalu meminyaki kepala Yesus. Tuan rumah itu mengusir perempuan itu. Namun, Yesus menegur tuan rumah itu. Kata-Nya, ".... Aku masuk ke rumahmu, namun engkau tidak memberikan Aku air untuk membasuh kaki-Ku, tetapi dia membasahi kaki-Ku dengan air mata dan menyekanya dengan rambutnya. Engkau tidak mencium Aku, tetapi sejak Aku masuk ia tiada henti-hentinya mencium kaki-Ku. Engkau tidak meminyaki kepala-Ku dengan minyak, tetapi dia meminyaki kaki-Ku dengan minyak wangi." (Lukas 7:44-46)

Martin termangu membaca teguran Yesus itu. Tuan rumah itu kurang sungguh-sungguh menyambut. Jangan-jangan, aku juga begitu. Ah, tidak! Seandainya Yesus datang ke rumahku, Dia akan kusambut sungguh-sungguh.

Tiba-tiba Martin mendengar seseorang memanggil, "Martin!" Martin bertanya, "Siapa itu?" Lalu, suara itu berkata lagi, "Martin, besok lihat ke jalan. Aku akan datang!"

Martin terbangun bingung. "Suara siapa itu? Itu mirip suara Yesus. Akan tetapi, masakan Yesus akan datang ke rumahku? Besok? Ah, itu cuma mimpi. Namun, siapa tahu itu betul?

Keesokan harinya sebelum terang, Martin sudah bangun. Ia membereskan rumah. Lalu, memasak sup kubis dan bubur jelai. Sementara itu, salju turun lebat.

Lalu, Martin mulai mengerjakan sepatu sambil sebentar-sebentar melirik keluar jendela. Hampir setiap orang yang lewat bisa ia kenali sepatunya. Mereka pelanggannya. "Namun, bagaimana aku bisa mengenali Yesus? Sepatu macam apa yang dipakai oleh Yesus?"

Tiba-tiba, seorang lelaki mendekati jendela. "Apakah itu Yesus? Ah, bukan! Itu cuma si Stepan, tukang sapu salju!" Melihat Stepan menggigil kedinginan, Martin memanggil, "Stepan, mari masuk sebentar. Hangatkan badanmu. Kebetulan samovar (teko teh -- Red.) sudah mendidih." Dengan rasa canggung, Stepan duduk dan menyeruput teh panas. Ia juga melahap roti yang tersaji.

Lalu, Stepan bertanya, "Mengapa kamu sebentar-sebentar menoleh ke jendela? Apa kamu sedang menunggu tamu?" Jawab Martin, "Tidak ... eh, tetapi sebetulnya ya." Lalu, Martin menceritakan apa yang dialaminya semalam. Mulut Stepan ternganga keheranan, lalu berkata, "Aku buta huruf. Aku tidak mengerti. Namun, semoga saja Yesus betul mengunjungi kamu."

Setelah Stepan pergi, Martin bekerja lagi sambil sebentar-sebentar melirik ke jendela. Tidak banyak orang lewat. Menjelang siang, ia melihat seorang ibu bersandar di tembok sambil menggendong bayinya yang menangis. Aneh, ibu itu tidak memakai baju hangat. Martin keluar dan bertanya, "Apa kamu sedang menunggu seseorang di sini?" Jawabnya, "Maaf, aku cuma beristirahat sebentar." Langsung, Martin mengajak dia masuk dan menyuruh dia duduk dekat tungku api. Lalu, segera ia menyajikan sup kubis dan bubur jelai. Ibu ini terheran-heran melihat kebaikan Martin. Dengan kepala menunduk malu-malu, ia melahap santapan itu.

Seusai makan, ibu ini bercerita, "Suamiku tentara di perbatasan. Sudah 8 bulan ia belum memberi kabar. Tadi, aku menghadap calon majikanku, tetapi ia menyuruh aku kembali minggu depan. Sekarang, aku dalam perjalanan pulang." Martin prihatin dan bertanya, "Mengapa kamu tidak memakai baju hangat?" Jawabnya, "Kemarin, aku menggadaikannya."

Martin pergi ke lemari. Katanya, "Bawalah mantel ini. Sudah usang, tetapi lumayan untuk menghangatkan badan." Mata ibu ini berlinang haru. Ketika ibu ini akan pulang, Martin berkata, "Ini sedikit uang untuk menebus baju hangatmu." Sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali, ia berjalan keluar mendekap bayinya.

Hari makin petang. Martin terus menatap ke jalan. Yesus belum juga datang. Yang datang malah seorang nenek memegang keranjang apel dagangannya sambil memikul ranting-ranting kayu bakar. Ia berhenti dan meletakkan keranjangnya untuk menggeser letak pikulannya. Tiba-tiba, secepat kilat, seorang bocah menyambar sebutir apel. Namun, si nenek dengan gesit mencekal tangan bocah itu yang meronta hendak melarikan diri. Lalu, si nenek menjambak rambut si bocah yang mengaduh kesakitan. Langsung, Martin lari keluar. Teriaknya, "Nek! Nek! Jangan!" Kini, Martin menatap wajah si nenek dari dekat. Wajahnya penuh keriput dan sedang penuh amarah. Katanya, "Calon maling ini harus dihajar babak belur!" Martin memohon, "Nek, sudahlah." Akhirnya, nenek itu melepaskan si bocah yang langsung kabur. Kini, giliran Martin yang mencekal tangan si bocah. Bentak Martin, "Kamu harus minta maaf dulu!" Bocah itu menangis dan meminta ampun.

Wajah nenek itu langsung damai. Amarahnya reda. Keriputnya tampak lembut. Ia tersenyum manis. "Baiklah. Sekarang sudah gelap. Aku pulang." Ia hendak mengangkat pikulannya. Namun, si bocah berkata, "Nek, biar aku yang pikul." Lalu, berjalanlah mereka berpegangan tangan. Dengan hati lega, Martin melihat mereka pergi.

Menjelang tidur, Martin merasa kecewa. Ternyata, Yesus tidak jadi datang. Lalu, dengan kacamata yang merosot, ia bersiap membaca Alkitab. Ia membuka Injil Matius 25. Kepalanya pun mulai manggut-manggut ngantuk.

Tiba-tiba, Martin mendengar suara memanggil, "Martin! Apakah kamu tidak mengenali Aku?"

"Siapa itu?" tanya Martin.

Suara itu menjawab, "Lihat, inilah Aku!" Lalu, tampaklah Stepan tersenyum melambaikan tangan. Suara itu berkata lagi, "Inilah Aku!" Lalu, tampaklah ibu muda dengan bayi itu menunduk malu. Sekali lagi, suara itu berkata, "Lihat, inilah Aku!" Lalu, tampaklah nenek keriput itu. Martin terbangun. Alkitabnya masih terbuka. Dengan mata berkunang-kunang, ia membaca, "Ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan ... Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku."

Jadi, apakah tadi Kristus sudah datang? Betulkah? Kristus itu Nek Keriput? Nek Keriput itu Kristus?

Sumber asli:
Judul buku: Selamat Sehati
Judul bab: Adven: Nek Keriput Itu Kristus?
Penulis: Andar Ismail
Penerbit: PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta 2013
Halaman: 93 -- 97

Diambil dari:
Nama situs: Natal

Penulis artikel: Andar Ismail
Tanggal akses: 19 Maret 2014


ARTIKEL: MENGIKUTI PIMPINAN TUHAN DALAM DOA KITA
Diringkas oleh: N.Risanti

Saya mengagumi ukiran salib kecil, yang dibuat dengan saksama sebagai pembatas halaman di Alkitab saya. Mantombi, nama yang indah, tertulis pada kartu yang dilekatkan di salib dengan pita emas tipis. Mantombi. Wajah wanita tua kekar yang gelap, keriput, melintas di pikiran saya.

"Apa yang harus kudoakan untukmu?" saya berbisik.

Sehari sebelumnya, di gereja, saya tergerak ketika mendengarkan pemimpin pelayanan perempuan kami menggambarkan pengalaman mereka mengunjungi dan melayani orang-orang di KwaZulu Natal, Afrika Selatan. Saya melihat foto nenek-nenek yang sedang merangkai manik-manik di sebuah gereja kecil. Melalui sumbangan dana, mereka membuat salib dan malaikat untuk mendukung sejumlah besar anak yang telah kehilangan segalanya -- termasuk ayah dan ibu mereka akibat AIDS. Ketika melihat dan mendengarkannya, saya merasa Tuhan menggerakkan saya untuk terlibat. Akan tetapi, bagaimana? Apa yang dapat saya lakukan -- sebagai seorang wanita Amerika -- untuk membuat perbedaan dalam kehidupan orang-orang di sisi lain dunia?

Jawabannya kemudian saya dapatkan pada akhir ibadah. Kelompok pelayanan perempuan membagikan salib kecil dan meminta kami untuk berdoa bagi pelayanan Phakamisa, dan untuk nenek yang membuat salib kami, yang bekerja untuk anak yatim korban penyakit AIDS.

Saya dapat berdoa. Karena itu, saya pun menambahkan Mantombi ke daftar doa saya. Apa yang saya tidak sadari adalah bahwa melalui doa-doa saya, Tuhan akan mengajari saya sesuatu tentang kehidupan saya sendiri.

"Apa yang Anda Butuhkan?"

Dengan lembut, saya memegang salib di tangan saya. Apa yang harus saya doakan untukmu? Saya bertanya-tanya lagi. "Tuhan, tolong ajari saya bagaimana untuk berdoa bagi seseorang yang saya tidak kenal atau mengerti. Hidup kami tampak begitu berbeda," saya berseru. "Aku belum pernah bertemu dengannya dan aku belum pernah mengunjungi pelayanan Phakamisa di Afrika Selatan, tetapi aku tahu bahwa anak yatim yang disebabkan karena AIDS adalah beberapa dari anak-anak-Mu." Saya memikirkan kata-kata Yesus dalam Matius 25:40: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku!"

"Aku tahu mereka membutuhkan doa yang biasa, yaitu untuk uang, penjualan produk, persediaan, dan masalah personel relawan. Apakah ini yang Engkau inginkan agar kudoakan bagi Mantombi sehingga ia bisa terus merawat anak-anak yatim tersebut?"

Saya menunggu untuk mendengar jawaban Allah, yakin bahwa Dia ingin saya melakukan lebih daripada hanya sebuah daftar doa. "Roh Kudus, aku merasakan tarikan lembut cinta dan kasih sayang untuk wanita itu yang hanya berasal dari Engkau." Saya mendesak, tidak mau menyerah sampai saya merasakan arahan.

Berusaha mendapat lebih banyak pengertian, akhirnya saya mengunjungi situs pelayanan Phakamisa. Saya melihat foto anak-anak bermain dengan setir di atas traktor tua, atau duduk dengan kaki menggantung di sisinya, ada tawa di wajah mereka. Wajah ini bisa saja saya atau anak-anak saya. Bagaimana mereka bisa menjadi anak yatim akibat penyakit AIDS? Mereka tampak terawat dan bahagia.

Ada juga foto-foto wanita membungkuk di atas tanaman panen dan penyiangan, dan seorang wanita menggendong seorang anak yang ceria di pinggulnya. Bisa saja saya yang ada di dalam foto-foto itu, saat saya berpikir kembali ke masa kecil saya sendiri. Saya dibesarkan di sebuah peternakan. Saya berkebun, menyiangi, memerah sapi, dan membantu saudara-saudara saya memelihara ayam. Saya mengasuh adik bungsu saya, menggendong dia dengan cara yang sama di pinggang saya.

Foto-foto yang bagus, tetapi tidak memberi saya inspirasi untuk berdoa syafaat -- semua tampak baik-baik saja. Apa yang mereka butuhkan? Saya malah merasa lebih bingung.

Saya menatap salib manik-manik yang ada di jari telunjuk saya, simbol kebangkitan Yesus. Tuhan, apakah saya bahkan telah menyebutkan namanya dengan benar?

"Berapa jam dalam sehari kau bekerja dengan manik-manikmu, Mantombi?" Saya berharap dia bisa duduk dan mengobrol dengan saya, mengekspresikan keinginannya, dan saya akan mengerti apa yang dia butuhkan sebagai wanita Allah. "Saya kagum padamu dan nenek-nenek lain sepertimu yang dapat mendukung pelayanan dengan menjual kreasi manik-manik," kata saya keras-keras, di dalam hati.

Semakin saya mencoba untuk mengumpulkan fakta tentang Mantombi, semakin dia menghindari saya. Tidak ada pikiran tentang pokok doa syafaat yang muncul baginya secara pribadi. Tetapi, saya merasa harus berdoa untuk Mantombi secara khusus. Saya rasa itulah doa syafaat -- melanjutkan sampai pesan yang jelas dari Roh Kudus tertanam di pikiran saya.

Mendorong Lebih Dalam

Menggali lebih dalam pada misteri ini, saya bertanya kepada diri sendiri, "Bagaimana aku mendapatkan kekuatan emosional untuk merawat anak-anak yang akan segera mati karena AIDS? Anak yatim piatu yang telah kehilangan orang tua mereka karena AIDS, yang tidak memiliki obat-obatan atau perawatan kesehatan yang baik, tetapi masih memiliki aku, seorang nenek, untuk mengasihi mereka?"

Saya bergidik dan berbisik, "Hanya memikirkan tentang apa yang engkau lakukan membuatku takut, Mantombi. Bagaimana Engkau bisa bangun setiap hari untuk memenuhi kebutuhan mereka, mengetahui engkau tidak lama lagi akan mengucapkan selamat tinggal kepada cucumu? Engkau sudah mengucapkan selamat tinggal kepada orang tua mereka, mati-matian berdoa agar mereka berada di surga, supaya engkau akan melihat mereka lagi suatu hari nanti."

Segera, sebuah ayat Alkitab, yang saya doakan ketika tengah bergumul, melayang ke pikiran saya: "sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun." (Yakobus 1:3-4)

"Itu dia, Tuhan!" saya berteriak. "Tanpa ketekunan, Mantombi, engkau akan hancur oleh kesedihan. Begitu banyak kematian mengelilingimu, dengan akhir yang tidak terlihat. Aku akan berdoa demi ketekunanmu dan kawan-kawanmu yang lain."

"Terima kasih, Tuhan. Engkau membawaku untuk memahami beberapa kebutuhan, serta mengingatkanku tentang ayat Alkitab yang tersembunyi di hatiku. Engkau juga telah memberiku ketekunan untuk menantikan-Mu."

Saya merasa lega, tetapi bertanya-tanya apakah saya sudah selesai dengan doa saya untuk wanita Afrika ini. Di pangkuan saya, Alkitab masih terbuka di mana ada salib Mantombi. Kata-kata ini melompat keluar dari halaman. "Kamu adalah surat pujian kami yang tertulis dalam hati kami dan yang dikenal dan yang dapat dibaca oleh semua orang. Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia." (2 Korintus 3:2-3)

Tuhan dengan sabar menunggu saya untuk dengan sabar menantikan Dia. Dan, Dia menjawab doa saya menggunakan ayat Kitab Suci dan manik-manik mutiara putih.

Jika saya bergegas melewatkan waktu doa saya dengan kalimat sederhana, "Tuhan berkatilah Mantombi dan pekerjaannya dengan anak yatim korban AIDS. Engkau tahu apa yang mereka butuhkan," saya akan kehilangan berkat dalam doa yang tekun, dan untuk benar-benar belajar mendengarkan apa yang menjadi kepedulian Allah. Saya tahu pergumulan saya dalam doa membuat saya menjadi seorang pendoa yang kuat, dan membuat doa-doa saya lebih berkuasa dan berguna untuk Kerajaan Allah.

Saya akan terus berdoa bagi upaya Mantombi dan kesejahteraan rohani serta anak-anak yang ada di dalam perawatannya. Melalui Mantombi, Tuhan mengajarkan saya untuk terus berdoa sampai saya mengerti dengan jelas apa yang Dia inginkan untuk didoakan. Syafaat merupakan tantangan dan kerja keras, tetapi sesuatu yang Tuhan inginkan dan perkenan jika kita mengikuti pimpinan-Nya. (t/Jing Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs: Today's Christian Woman
Alamat URL: http://www.todayschristianwoman.com/articles/2012/january/godsleadprayers.html
Judul asli artikel: Praying for Others Taught Me a Lesson About My Own Life.
Penulis artikel: Jan Lazo-Davis
Tanggal Akses: 30 Mei 2013


Kontak: doa(at)sabda.org
Redaksi: N. Risanti dan Amidya

BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2014 -- Yayasan Lembaga SABDA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar